Rabu, 16 April 2014

Jiwa Pondok

PONDOK PESANTREN DAN JIWANYA
Oleh : KH. Nu’man Istichori
ﺴﻢ ﺍﻠﻟﻪ ﺍﻠﺮﺤﻣﻦ ﺍﻠﺮﺤﻴﻢ

I.  PENGERTIAN PONDOK PESANTREN

Pesantren atau Pondok Pesantren berasal dari dua kata yang membentuk satu pengertian yang sama. Pondok  berarti Tempat menumpang sementara,  Pesantren berarti tempat para santri, sedangkan santri berarti pelajar yang menuntut ilmu agama islam.
        Di Jawa atau di Sunda tempat ini disebut Pondok atau Pesantren atau Pondok Pesantren. Tidak ada perbedaan yang berarti antara sebutan Pondok atau Pesantren, karena merujuk pada satu pengertian yang sama, yakni sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam dengan sistem asrama, dimana Kiyai sebagai pigur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya. Pengajaran Agama Islam dibawah bimbingan Kiyai dan  para Asatiznya sedang para santri mengikutinya.   Adapun adanya sekolah atau Madrasah  merupakan pengembangan dari Pondok Pesantren itu sendiri.
         Proses alami berdirinya pesantren telah melahirkan tata nilai yang unik, status pondok pesantren adalah kepemilikan bersama yang harus dipelihara bersama. Setiap seorang santri datang, berarti bertambah satu orang anggota yang bertanggung jawab atas keberadaan pondok itu.  Amat jauh berbeda dengan sebuah hotel. Apabila seorang masuk hotel dan ia telah membayar uang sewanya, ia berhak tinggal dihotel tersebut dengan sesuka hatinya. Apabila kamarnya kotor ia memanggil pelayan untuk membersihkannya. Dengan demikian, secara ma’nawi Pondok Pesantren berbeda dengan hotel. Pesantren  juga tidak sama dengan Padepokan ala Hindu, orang-orang yang belajat atau  mengajar di padepokan hanya kasta-kasta tertentu, yaitu kasta brahmana dan kasta Ksatria. Di Pondok Pesantren semua orang tidak dibeda-bedakan, semua orang dapat belajar dengan mudah.
     Dalam kehidupan pesantren tertanam “GIROH DINIYYAH secara otomatis mewarnai seluruh aktivitas belajar dan kehidupan para santri, sehingga membentuk kehidupan “KHAS PESANTREN” . Kehidupan pesantren yang khas itu telah terbentuk mampu menanamkan jiwa dan mentalitas yang positif  kepada pribadi-pribadi  para santrinya. Dalam kehidupan pesantren yang  khas itulah terjalin jiwa yang kuat yang sangat menentukan  Falsafat  hidup para santrinya

 II. JIWA  PONDOK  PESANTREN

   Pada Pondok Pesantren terdapat  jiwa “ KEIKHLASAN, KESEDERHANAAN, KEMANDIRIAN , UKHWAH ISLAMIYAH DAN KEBEBASAN”

A.   JIWA KEIKHLASAN
           Jiwa keikhlasan di Pondok Pesantren harus dipertahankan dan dikembangkan untuk dapat mewarnai kehidupan seluruh santri dan para pengurusnya. Guru-guru yang membantu Kiyai dalam  mengajar dan  membimbing santri bukanlah orang suruhan,  mereka adalah orang-orang  yang tulus ikhlas mengamalkan  ilmunya. Kalaupun mereka mendapat imbalan, itu bagian dari “ALAMATUL HAYAT”, sumbangan iuran atau pembayaran yang di keluarkan oleh santri dikembalikan kepada kebutuhan mereka sndiri. Untuk itu jadikanlah keikhlasan ini sebagai jiwa pekerjaan “AL IKHLASU RUHUL AMAL”.
           Dengan demikian  para santri secara ikhlas menerima ilmu, perintah-perintah dari Kiyai dan para guru hatta menerima hukuman sekalipun.

B.   JIWA KESEDERHANAAN
           Sederhana tidak berarti miskin, tetapi hidup sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Orang yang naik becak dari bogor ke Jakarta itu bukan orang sederhana, sebaliknya orang yang memaksakan diri naik pesawat padahal ia tidak mampu, juga bukan orang yang kaya.
        Jiwa kesederhanaan di Pondok Pesantren  harus ditanamkan  kepada para santri sehari-hari. Dalam hal makan, berpakaian , tempat tinggal mereka dianjurkan untuk tidak berlebihan. Makan cukup kriteria sehat dan bergizi tidak perlu yang lezat-lezat, tempat tidur tidak perlu kasur yang empuk-empuk, begitupun berpakaian tidak perlu yang mahal-mahal , tapi cukup yang suci dan dapat menutupi aurat.
      Kesederhanaan juga ditanamkan dalam cara berfikir, santri dianjurkan untuk dapat sederhana, apa adanya (realistis), tidak menghayal yang bukan-bukan. Maka di Pondok Pesantren santri tidak dapat dibedakan antara anak orang kaya dan anak orang miskin, yang membedakan antara satu santri dengan yang lainnya adalah prestasi.

C.   JIWA KEMANDIRIAN
       Jiwa kemadirian di Pondok Pesantren berjalan seiring diterapkannya sistem asrama atau sistem pondok. Di Pesantren para santri belajar hidup menolong dirinya sendiri. Tiap santri sejak awal  masuk pesantren dituntut untuk dapat memikirkan sekaligus memenuhi keperluannya sendiri,  dari  memenuhi kebutuhan akan buku-buku , kitab-kitabnya, pakaiannya, kasur tempat tidurnya, hingga memikirkan bagimana mengatur keuangan tiap minggu dan bulannya.
        Dalam lingkup yang  lebih luas,  para santri  dididik  mandiri dapat mengkondisikan agar dapat secara bersama-sama mengatur kehidupan mereka sendiri dibawah bimbingan Kiyai dan para Guru. Untuk itu dibentuklah Organisasi santri yang bertujuan mendidik mereka untuk dapat mengatur dan  memikirkan semua kegiatan kehidupan santri sehari-hari termasuk menegakan disiplin para santri.
       Pengurus organisasi santri  adalah santri senioryang dipilih oleh seluruh santri,  tiap tahun dilakukan pergantian pengurus dengan  laporan  pertanggung jawaban  pengurus lama dan serah terima kepengurusan kepada pengurus baru.  Dari  penerapan  jiwa kemandirian  ini timbul pengalaman berharga bagi para santri,  yaitu pengalaman memimpin dan pengalaman dipimpin. Maka lahirlah motto “BERANI MEMIMPIN DAN SIAP DIPIMPIN”. Adanya PPL dan PDL bagi  kelas akhir,  merupakan bagian dari pendidikan keterampilan menjadi seorang pemimpin di masyarakat luas.

D.  UKHWAH ISLAMIYAH
      Para santri yang berdatangan dari berbagai daerah, suku, budaya, mereka tinggal bersama dalam asrama, serta saling mengenal dan berbagi pengalaman antara mereka. Selain itu upaya-upaya sistematis juga dilakukan sepanjang proses pendidikan didalam sistem pondok:
Pertama, Ketika para calon santri resmi diterima sebagai santri, mereka harus meninggalkan bahasa daerahnya masing-masing dan wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari mereka.
Kedua, Para santri yang datang dari berbagai suku dan daerah, ditempatkan secara acak dalam beberapa kamar dan tidak ditempatkan berdasarkan kelompok atau daerah asal. Menghilangkan Fanatisme kesukuan dan kedaerahan serta menggalang rasa kebangsaan, dimaksudkan sebagai jalan menanamkan jiwa “UKHWAH ISLAMIYYAH”.

E.  JIWA KEBEBASAN
       Disiplin dan kebebasan dalam pesantren yang menggunakan sistem Madrasah, waktu belajar santri diatur secara ketat. Waktu tidak selonggar di Pesantren tradisional yang menggunakan sistim Sorogan, Bandungan, Wetonan.
      Meskipun para santri menjalankan disiplin secara ketat, mereka masih mempunyai kebebasan-kebebasan  diantara lain; bebas memanfaatkan waktu libur,  bebas memanfaatkan waktu-waktu  luang,  bebas berekspresi,  bebas mengeluarkan pendapat, bebas memilih kawan, bebas memilih calon pengurus, bebas memilih calon OSIS serta bebas menentukan masa depannya sendiri. Hanya saja  kebebasan  para santri tetap dalam pengawasan kiyai dan para Guru.
            Pendidikan Demokrasi : salah satu dasar pendidikan di Pondok Pesantren adalah pendidikan demokrasai. Hal ini ditanamkan  melalui keorganisasian santri, keorganisasian OSIS. Para santri yang menjadi pengurus organisasi santri, otomatis agar mengatur sendiri kegiatannya. Pengurus organisasi santri dipilih dari dan oleh para santri. Program-program organisasi santri di musyawarahkan oleh mereka sendiri.
            Pondok Pesantren yang  menggunakan  sistem Madrasah dan dengan  kuantitas, aktifitas santri yang semakin bertambah, maka kepemimpinan kiyai di didistribusikan kepada guru-guru dan santri senior (pengurus organisasi santri). Hal ini suatu keharusan dan kebutuhan guna kaderisasi.
            Hubungan langsung kiyai dan santri berkembang sedemikian rupa, tidak seperti di pondok Pesantren tradisional. Hubungan  Kiyai dan santri nampak rasional, hubungan kiyai dan  santri bukan  hanya untuk urusan-urusan pengelolaan pondok dalam hubungannya distribusi wewenang   tadi,  tapi jauh berkembang  karena kiyai bukan hanya berhubungan dengan guru dan pengurus organisasi santri tapi dengan seluruh santri, baik hubungan di kelas maupun hubungan di luar kelas. Hubungan ini  a kan berlangsung sepanjang  masa, kalupun si santri telah pulang  kekampung halamnnya. Maka didunia Pondok Pesantren tidak ada istilah “ BEKAS GURU DAN BEKAS MURID”.




















































































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar