Oleh : KH. Nu’man Istichori
ﺴﻢ ﺍﻠﻟﻪ ﺍﻠﺮﺤﻣﻦ
ﺍﻠﺮﺤﻴﻢ
I. PENGERTIAN PONDOK
PESANTREN
Pesantren
atau Pondok Pesantren berasal dari dua kata yang membentuk satu pengertian yang
sama. Pondok berarti Tempat menumpang
sementara, Pesantren berarti tempat para
santri, sedangkan santri berarti pelajar yang menuntut ilmu agama islam.
Di
Jawa atau di Sunda tempat ini disebut Pondok atau Pesantren atau Pondok
Pesantren. Tidak ada perbedaan yang berarti antara sebutan Pondok atau Pesantren,
karena merujuk pada satu pengertian yang sama, yakni sebagai Lembaga Pendidikan
Agama Islam dengan sistem asrama, dimana Kiyai sebagai pigur sentralnya, masjid
sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya. Pengajaran Agama Islam dibawah
bimbingan Kiyai dan para Asatiznya sedang para santri
mengikutinya. Adapun adanya sekolah atau
Madrasah merupakan
pengembangan dari Pondok Pesantren itu sendiri.
Proses
alami berdirinya pesantren telah melahirkan tata nilai yang unik, status pondok
pesantren adalah kepemilikan bersama yang harus dipelihara bersama. Setiap
seorang santri datang, berarti bertambah satu orang anggota yang bertanggung
jawab atas keberadaan pondok itu. Amat jauh berbeda dengan sebuah hotel. Apabila seorang
masuk hotel dan ia telah membayar uang sewanya, ia berhak tinggal dihotel
tersebut dengan sesuka hatinya. Apabila kamarnya kotor ia memanggil pelayan
untuk membersihkannya. Dengan demikian, secara ma’nawi Pondok Pesantren berbeda
dengan hotel. Pesantren juga tidak sama dengan
Padepokan ala Hindu, orang-orang yang belajat atau mengajar di padepokan hanya kasta-kasta
tertentu, yaitu kasta brahmana dan kasta Ksatria. Di Pondok Pesantren semua
orang tidak dibeda-bedakan, semua orang dapat belajar dengan mudah.
Dalam
kehidupan pesantren tertanam “GIROH DINIYYAH” secara otomatis
mewarnai seluruh aktivitas belajar dan kehidupan para santri, sehingga
membentuk kehidupan “KHAS PESANTREN” . Kehidupan pesantren yang khas itu telah
terbentuk mampu menanamkan jiwa dan mentalitas yang positif kepada pribadi-pribadi para santrinya. Dalam kehidupan pesantren yang khas itulah terjalin jiwa yang kuat yang sangat menentukan Falsafat hidup para santrinya
II. JIWA PONDOK
PESANTREN
Pada Pondok Pesantren terdapat jiwa “ KEIKHLASAN, KESEDERHANAAN, KEMANDIRIAN
, UKHWAH ISLAMIYAH DAN KEBEBASAN”
A. JIWA KEIKHLASAN
Jiwa
keikhlasan di Pondok Pesantren harus dipertahankan dan dikembangkan untuk dapat
mewarnai kehidupan seluruh santri dan para pengurusnya. Guru-guru yang membantu
Kiyai dalam mengajar dan
membimbing santri bukanlah orang suruhan, mereka adalah orang-orang yang tulus ikhlas mengamalkan ilmunya. Kalaupun mereka mendapat imbalan, itu bagian dari “ALAMATUL
HAYAT”, sumbangan iuran atau pembayaran yang di keluarkan oleh santri
dikembalikan kepada kebutuhan mereka sndiri. Untuk itu jadikanlah keikhlasan
ini sebagai jiwa pekerjaan “AL IKHLASU RUHUL AMAL”.
Dengan
demikian para santri secara
ikhlas menerima ilmu, perintah-perintah dari Kiyai dan para guru hatta menerima
hukuman sekalipun.
B. JIWA KESEDERHANAAN
Sederhana
tidak berarti miskin, tetapi hidup sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Orang
yang naik becak dari bogor ke Jakarta itu bukan orang sederhana, sebaliknya
orang yang memaksakan diri naik pesawat padahal ia tidak mampu, juga bukan orang
yang kaya.
Jiwa
kesederhanaan di Pondok Pesantren harus ditanamkan kepada para santri sehari-hari. Dalam hal
makan, berpakaian , tempat tinggal mereka dianjurkan untuk tidak berlebihan.
Makan cukup kriteria sehat dan bergizi tidak perlu yang lezat-lezat, tempat
tidur tidak perlu kasur yang empuk-empuk, begitupun berpakaian tidak perlu yang
mahal-mahal , tapi cukup yang suci dan dapat menutupi aurat.
Kesederhanaan
juga ditanamkan dalam cara berfikir, santri dianjurkan untuk dapat sederhana,
apa adanya (realistis), tidak menghayal yang bukan-bukan. Maka di Pondok
Pesantren santri tidak dapat dibedakan antara anak orang kaya dan anak orang
miskin, yang membedakan antara satu santri dengan yang lainnya adalah prestasi.
C. JIWA KEMANDIRIAN
Jiwa
kemadirian di Pondok Pesantren berjalan seiring diterapkannya sistem asrama atau sistem pondok. Di Pesantren
para santri belajar hidup menolong dirinya sendiri. Tiap santri sejak awal masuk pesantren dituntut untuk dapat
memikirkan sekaligus memenuhi keperluannya sendiri, dari memenuhi
kebutuhan akan buku-buku , kitab-kitabnya, pakaiannya, kasur tempat tidurnya,
hingga memikirkan bagimana mengatur keuangan tiap minggu dan bulannya.
Dalam
lingkup yang lebih luas, para santri dididik mandiri dapat mengkondisikan agar dapat secara
bersama-sama mengatur kehidupan mereka sendiri dibawah bimbingan Kiyai dan para
Guru. Untuk itu dibentuklah Organisasi santri yang bertujuan mendidik mereka
untuk dapat mengatur dan memikirkan semua
kegiatan kehidupan santri sehari-hari termasuk menegakan disiplin para santri.
Pengurus
organisasi santri adalah santri senioryang
dipilih oleh seluruh santri, tiap tahun dilakukan pergantian pengurus
dengan laporan pertanggung jawaban pengurus lama dan serah terima kepengurusan kepada pengurus
baru. Dari
penerapan jiwa kemandirian ini timbul pengalaman berharga bagi para santri, yaitu pengalaman memimpin dan pengalaman dipimpin. Maka
lahirlah motto “BERANI MEMIMPIN DAN SIAP DIPIMPIN”. Adanya
PPL dan PDL bagi kelas akhir, merupakan bagian dari pendidikan keterampilan
menjadi seorang pemimpin di masyarakat luas.
D. UKHWAH ISLAMIYAH
Para
santri yang berdatangan dari berbagai daerah, suku, budaya, mereka tinggal
bersama dalam asrama, serta saling mengenal dan berbagi pengalaman antara
mereka. Selain itu upaya-upaya sistematis juga dilakukan sepanjang proses
pendidikan didalam sistem pondok:
Pertama, Ketika para calon
santri resmi diterima sebagai santri, mereka harus meninggalkan bahasa
daerahnya masing-masing dan wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan
sehari-hari mereka.
Kedua, Para santri yang datang
dari berbagai suku dan daerah, ditempatkan secara acak dalam beberapa kamar dan
tidak ditempatkan berdasarkan kelompok atau daerah asal. Menghilangkan
Fanatisme kesukuan dan kedaerahan serta menggalang rasa kebangsaan, dimaksudkan
sebagai jalan menanamkan jiwa “UKHWAH ISLAMIYYAH”.
E. JIWA KEBEBASAN
Disiplin
dan kebebasan dalam pesantren yang menggunakan sistem Madrasah, waktu belajar santri
diatur secara ketat. Waktu tidak selonggar di Pesantren tradisional yang
menggunakan sistim Sorogan, Bandungan, Wetonan.
Meskipun
para santri menjalankan disiplin secara ketat, mereka masih mempunyai
kebebasan-kebebasan diantara lain; bebas
memanfaatkan waktu libur, bebas
memanfaatkan waktu-waktu luang, bebas berekspresi, bebas mengeluarkan pendapat, bebas memilih
kawan, bebas memilih calon pengurus, bebas memilih calon OSIS serta bebas
menentukan masa depannya sendiri. Hanya saja kebebasan para santri tetap dalam pengawasan kiyai dan
para Guru.
Pendidikan Demokrasi : salah satu dasar
pendidikan di Pondok Pesantren adalah pendidikan demokrasai. Hal ini ditanamkan
melalui keorganisasian santri,
keorganisasian OSIS. Para santri yang menjadi pengurus organisasi santri,
otomatis agar mengatur sendiri kegiatannya. Pengurus organisasi santri
dipilih dari dan oleh para santri. Program-program organisasi santri di
musyawarahkan oleh mereka sendiri.
Pondok
Pesantren yang menggunakan
sistem Madrasah dan dengan kuantitas, aktifitas santri yang semakin bertambah, maka kepemimpinan kiyai di didistribusikan kepada
guru-guru dan santri senior (pengurus organisasi santri). Hal ini suatu
keharusan dan kebutuhan guna kaderisasi.
Hubungan
langsung kiyai dan santri berkembang sedemikian rupa, tidak seperti di pondok
Pesantren tradisional. Hubungan Kiyai
dan santri nampak rasional, hubungan kiyai dan
santri bukan hanya untuk
urusan-urusan pengelolaan pondok dalam hubungannya distribusi wewenang tadi, tapi
jauh berkembang karena kiyai bukan hanya
berhubungan dengan guru dan pengurus organisasi santri tapi dengan seluruh
santri, baik hubungan di kelas maupun hubungan di luar kelas. Hubungan ini a kan berlangsung sepanjang masa, kalupun si santri telah pulang kekampung halamnnya. Maka didunia Pondok
Pesantren tidak ada istilah “ BEKAS GURU DAN BEKAS MURID”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar